- Hermina Pandanaran<\/a><\/li>
- 07 Desember 2020<\/li><\/ul><\/div>
Penyakit Komorbid COVID-19 yang Bisa Berujung Fatal<\/a><\/h3>
Penyakit COVID-19 dapat menyerang siapa saja tanpa memandang usia maupun jenis kelamin. COVID-19 diketahui lebih berisiko menyerang orang-orang dengan kondisi medis tertentu. Pada kelompok tersebut, COVID-19 juga cenderung dapat menimbulkan komplikasi dan gejala yang lebih berat. Salah satu kelompok yang berisiko mengalami gejala serius jika terpapar infeksi virus corona adalah mereka yang memiliki penyakit bawaan tertentu atau biasa disebut dengan Komorbid. Pasien dengan komorbid merupakan pasien yang telah memiliki penyakit kronis bawaan seperti: \n\n - Gangguan pernapasan kronis. COVID-19 umumnya menyerang saluran pernapasan. Oleh karena itu, orang yang memiliki penyakit kronis pada saluran pernapasan, seperti PPOK dan asma, berisiko tinggi mengalami gejala yang parah ketika terinfeksi virus corona. Ketika terjangkit COVID-19, penderita penyakit pernapasan kronis akan lebih rentan mengalami gangguan pernapasan berat, seperti serangan asma, pneumonia, atau bahkan gagal nafas. \n\n - Penyakit Kardiovaskuler. Penderita penyakit kardiovaskular, seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, dan hipertensi, umumnya memiliki kondisi jantung yang kurang baik dan sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah. Hal ini membuat para penderita penyakit tersebut rentan menderita COVID-19 dengan gejala yang lebih berat. \n\n - Diabetes. Diabetes merupakan penyakit degeneratif sehingga memerlukan pengendalian dan pengobatan secara intensif. Pemicu penyakit ini di antaranya gaya hidup tidak sehat, faktor keturunan, dan usia. \n\n Diabetes yang tidak terkontrol lama-kelamaan dapat menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh dan kerusakan pada berbagai organ tubuh. Inilah yang membuat penderita diabetes lebih rentan terkena komplikasi fatal akibat infeksi virus COVID-19. Selain itu, infeksi virus COVID-19 juga terlihat dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi berbahaya dari penyakit diabetes, seperti ketoadiosis dan sepsis. Berbagai komplikasi diabetes tersebut dapat meningkatkan risiko terjadinya kematian akibat COVID-19 pada penderita diabetes. \n\n - Hipertensi. Hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi yang bisa menyebabkan berbagai komplikasi. Penyebab darah tinggi bermacam-macam, antara lain faktor usia, kelebihan berat badan, kurang berolahraga, dan konsumsi garam berlebih. Tanpa upaya pengobatan, tekanan darah tinggi bisa dalam jangka waktu tertentu bisa menyebabkan kerusakan pada organ dalam, termasuk jantung dan ginjal. Karena itu, orang yang mengidap hipertensi sangat berisiko mengalami kondisi yang lebih parah ketika terkena COVID-19. \n\n - Penyakit Jantung, Penyakit jantung menjadi penyakit penyerta COVID-19 yang meningkatkan risiko kematian hingga tiga kali lipat. Pengidap penyakit jantung akan mengalami gejala COVID-19 yang lebih berat daripada pasien positif COVID-19 yang tak memiliki riwayat penyakit tersebut. \n\n \n\n Penderita penyakit kronis bawaan di atas disarankan untuk menerapkan social distancing, yang kini disebut juga physical distancing, untuk mengurangi risiko terkena COVID-19. Jika harus keluar rumah, batasi jarak dengan orang lain minimal 1,5–2 meter dan hindari kerumunan atau tempat-tempat yang ramai. Selain itu, penderita penyakit kronis juga perlu rutin mengonsumsi obat-obatan yang diresepkan oleh dokter agar penyakitnya dapat terkontrol. \n\n \n\n Selama masa pandemi COVID-19 perlu tetap menjalani pola hidup sehat untuk memperkuat daya tahan tubuhnya. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengonsumsi makanan bergizi seimbang, rajin mencuci tangan, mengurangi stres, rutin berolahraga di rumah, dan menjauhi asap rokok. Jika memiliki penyakit kronis yang telah disebutkan di atas dan mengalami gejala demam, batuk, atau sesak napas, terlebih jika pernah kontak dekat dengan orang yang menderita atau dicurigai menderita COVID-19, segeralah hubungi rumah sakit terdekat. \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Purwokerto<\/a><\/li>
- 07 Desember 2020<\/li><\/ul><\/div>
Faktor Risiko Infertilitas<\/a><\/h3>
Memiliki buah hati merupakan hal yang didambakan oleh semua pasangan suami istri. Kehadiran buah hati dapat memberikan kebahagiaan dan warna baru dalam sebuah hubungan, sehingga Sahabat Hermina perlu mempersiapkan kehamilan dan kehadiran si buah hati. Namun, tak jarang beberapa pasangan yang telah berusaha mempersiapkan kehamilan dalam waktu yang cukup lama belum juga dikaruniai buah hati. Jika hal tersebut terjadi pada Sahabat Hermina, penyebab masalah infertilitas harus segera ditemukan agar mendapatkan solusi yang tepat. Berikut tujuh faktor risiko infertilitas yang umum terjadi menurut dr. Edy Priyanto, Sp. OG (K), M.Kes. \n\n \n\n 1. Mengkonsumsi Alkohol \n\n Konsumsi alkohol pada pria dapat merusak sel testis. Selain itu juga dapat mengganggu produksi hormon otak yang mempengaruhi maturasi sperma. \n\n \n\n 2. Merokok \n\n Pria yang merokok dapat berdampak pada fertilitas yaitu menurunnya kualitas sperma terutama pada morfologi sperma. Sedangkan pada wanita baik perokok aktif maupun pasif dapat merusak mitokondria pada sel telur serta menyebabkan keguguran. \n\n \n\n 3. Mengkonsumsi Kafein \n\n Konsumsi kafein seperti teh, kopi, cokelat dan minuman bersoda dapat memberikan efek negatif terhadap fertilitas yaitu dapat menurunkan aktivitas otot tuba falopi. Akibatnya, pergerakan sel telur dari ovarium ke rahim menjadi terganggu. \n\n \n\n 4. Olahraga Berat \n\n Olahraga berat dapat menurunkan fertilitas. Kategori olahraga berat yang dimaksud adalah olahraga yang berdurasi > 5jam/minggu pada pria, dan > 3-5 jam/minggu pada wanita. Olahraga yang dianjurkan yaitu low impact dan konsisten 120 - 150 menit/minggu. \n\n \n\n 5. Berat Badan \n\n Wanita dengan berat badan berlebih cenderung memerlukan waktu lebih lama untuk hamil karena gangguan ovulasi. Sedangkan pria dengan IMT > 29 berpotensi mengalami infertilitas. \n\n \n\n 6. Stres \n\n Perasaan cemas, rasa bersalah dan depresi yang berlebihan dapat berhubungan dengan infertilitas. Berdasarkan studi, stres berakibat kepada penyempitan aliran pembuluh darah ke organ panggul. \n\n \n\n 7. Paparan Bahan Berbahaya \n\n Beberapa pekerjaan melibatkan paparan bahan yang berbahaya bagi kesuburan pria dan wanita. Bahan yang telah teridentifikasi dapat mempengaruhi kesuburan diantaranya yaitu panas, radiasi, logam, dan pestisida. \n\n \n\n Namun, untuk mengetahui secara pasti mengenai penyebab infertilitas, Sahabat Hermina sebaiknya berkonsultasi langsung pada dokter spesialis kandungan dan kebidanan. Umumnya diperlukan pemeriksaan kesuburan dari kedua pasangan untuk memastikan penyebab kesulitan hamil. Konsultasi ke dokter biasanya dianjurkan setelah berhubungan seks secara teratur tanpa kontrasepsi selama tahun dan belum berhasil hamil. \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Ciruas<\/a><\/li>
- 03 Desember 2020<\/li><\/ul><\/div>
Mata Minus atau Rabun Jauh (Miopia)<\/a><\/h3>
Kacamata biasa digunakan jika mengalami masalah terkait penglihatan, tetapi tidak semua orang nyaman menggunakannya. Mungkin Sahabat Hermina pernah melihat iklan di TV, memperkenalkan alat atau terapi yang dapat menyembuhkan mata minus. Namun, bisakah mata minus disembuhkan? \n\n \n\n Dalam dunia medis, mata minus disebut rabun jauh atau miopia. Penderita mata minus atau rabun jauh sulit melihat objek jauh. Objek di kejauhan tampak buram, sedangkan objek di sekitarnya terlihat jelas. Kondisi kelainan refraksi ini paling sering terjadi pada anak-anak dan remaja. Penderita mata minus dapat memiliki kondisi yang ringan (tidak memerlukan pengobatan) hingga parah (sangat mempengaruhi penglihatan seseorang). \n\n \n\n Penyebab utama dari kondisi ini belum diketahui, tetapi seringkali dikaitkan dengan faktor genetik dan gaya hidup. Kebiasaan melihat benda-benda seperti buku, handphone dan komputer terlalu dekat untuk waktu yang lama pada saat masa kanak-kanak. \n\n \n\n Apakah mata minus bisa disembuhkan? Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang mampu menyembuhkan mata minus. Mata minus atau rabun jauh ini bukanlah sebuah penyakit, melainkan kelainan refraksi mata. \n\n \n\n Kelainan refraksi ini diakibatkan pertumbuhan bola mata yang terlalu panjang di masa kanak-kanak. Hal ini menyebabkan sinar cahaya terfokus pada suatu titik di depan retina bukan langsung pada permukaan retina. Meskipun mata minus belum bisa disembuhkan, ada metode yang telah terbukti memperlambat perkembangan mata minus pada saat masa kanak-kanak. \n\n \n\n \n\n Perawatan pada Mata Minus \n\n \n\n Meskipun tidak ada obat untk mata minus, ada beberapa metode pengelolaan dan pengendalian yang terbukti berhasil. Perawatan ini biasanya disesuaikan dengan usia dan tahap perkembangan mata. \n\n \n\n Berikut beberapa metode yang biasa digunakan untuk menangani kondisi mata minus atau rabun jauh: \n\n \n\n 1. Lensa Korektif \nPenggunaan kacamata atau lensa kontak merupakan cara paling umum untuk memperbaiki mata minus atau rabun jauh. Untuk mendapatkan kacamata khusus mata minus, terlebih dahulu melakukan pemeriksaan dan konsultasi ke dokter. Dokter akan membantu menentukan jenis lensa yang sesuai dengan kondisi mata. Beberapa orang lebih memilih lensa kontak daripada kacamata karena ringan dan hampir tidak terlihat. Namun, beberapa orang merasa bahwa lensa kontak lebih merepotkan daripada memakai kacamata. \n\n \n\n 2. Operasi mata laser \n\n Operasi mata laser melibatkan penggunaan laser untuk membakar sebagian kecil kornea mata. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki kelengkungan agar cahaya lebih terkonsentrasi pada retina. \n\n \n\n Ada 3 jenis operasi mata, seperti yang dijelaskan di bawah ini: \n\n \n\n Photorefactive Keratectomy (PRK) \n\n Dalam metode ini, sebagian kecil permukaan kornea diangkatkan. Kemudian laser digunakan untuk menghilangkan lapisan dan mengubah bentuk kornea. \n\n \n\n Laser Epithelial Keratomileusis (LASEK) \n\n Metode LASEK mirip dengan PRK, hanya saja bedanya dalam metode ini menggunakan alkohol untuk mengendurkan permukaan kornea sehingga dapat mengangkat lipatan jaringan. Kemudian laser digunakan untuk mengubah bentuk kornea. Setelah operasi laser selesai, lapisan kornea dikembalikan ke tempatnya. \n\n \n\n Laser In Situ Keratectomy (LASIK) \n\n Mirip dengan LASEK, tetapi dengan lapisan kornea yang diangkat lebih kecil. Ketiga teknik operasi mata laser ini dapat memberikan hasil yang serupa, tetapi seringkali memiliki waktu pemulihan yang berbeda. \n\n \n\n Prosedur Ortokeratologi \n\n Orthokeratology adalah prosedur pemasangan lensa kontak permeabel gas yang dirancang khusus (biasa disebut lensa oertho-k) untuk pemakaian semalaman. \n\n \n\n Lensa ini membentuk dan memperbaiki permukaan depan mata (kornea) pada saat tidur. Kemudian pada saat bangun tidur, mata bisa melihat dengan jelas tanpa memakai kacamata atau lensa kontak. \n\n \n\n Namun, ortho-k tidak bisa menyembuhkan mata minus. Pemakai lensa kontak ini harus secara rutin dilakukan pada malam hari. Jika tidak, masalah mata minus akan muncul kembali. \n\n \n\n Tetes Mata Atropin \n\n Tetes mata atropin telah terbukti secara signifikan memperlambat perkembangan mata minus atau rabun jauh pada anak-anak. Dua percobaan besar di Asia menemukan bahwa tetes mata atropin dapat memperlambat perkembangan rabun jauh pada anak-anak hingga 50-60%. \n\n \n\n Namun, karena mata minus tidak dapat disembuhkan, anak-anak yang menggunakan obat tetes mata atropin mungkin masih memerlukan kacamata atau lensa kontak. \n\n \n\n \n\n \n\n Mencegah Mata Minus \n\n \n\n Mata minus dapat dicegah sejak dini. Berikut caranya: \n\n - Tidak membaca dalam keadaan atau tempat yang kurang pencahayaan. Jika hendak membaca, pastikan membaca di tempat dengan pencahayaan yang baik. \n\n - Hindari menatap layar komputer atau laptop terlalu lama. Jika Lelah, istirahatkan mata sejenak. \n\n - Mengkonsumsi sayur-sayuran serta buah-buahan yang mengandung vitamin A, contohnya: wortel, brokoli, bayam, kangkung, belimbing, melon, pepaya. \n\n - Melakukan olahraga mata. \n\n - Melakukan pemeriksaan rutin ke dokter mata. \n\n \n\n \n\n Sahabat Hermina, yuk jaga kesehatan mata sejak dini, karena mata adalah jendela dunia. Jangan ragu untuk segera memeriksakan kesehatan mata Anda sebelum gejala bertambah parah. Salam sehat. \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Yogya<\/a><\/li>
- 03 Desember 2020<\/li><\/ul><\/div>
Pertolongan Pertama pada Kecelakaan di Sekitar Kita<\/a><\/h3>
Setiap aktivitas atau proses pekerjaan yang dilakakukan di tempat kerja mengandung resiko untuk terjadinya kecelakaan kerja mulai dari level ringan, sedang, hingga berat. Berbagai upaya pencegahan dilakukan supaya kecelakaan kerja tidak terjadi dengan cara memberikan keterampilan melakukan tindakan pertolongan pertama untuk menghadapi kemungkinan terjadinya kecelakaan. Oleh karena itu, di setiap tempat kerja harus memiliki petugas P3K (First Aider) atau setidaknya setiap karyawan dibekali dengan keterampilan dalam melakukan pertolongan pertama ketika terjadi kecelakaan maupun kegawatan medik. \n\n \n\n Tujuan FIRST AID di tempat kerja adalah: \n\n \n Menyelamatkan jiwa di tempat kerja \n Memberikan rasa nyaman dan menunjang proses penyembuhan \n Mencegah terjadinya hal yang lebih buruk pada korban \n Menenangkan penderita atau korban yang terluka di tempat kerja \n \n\n \n\n Prinsip-Prinsip Dasar Pertolongan Pertama: \n\n 1. Jangan pindahkan atau ubah posisi orang yang terluka, terutama bila luka-lukanya terjadi karena jatuh, jatuh dari ketinggian dengan keras atau kekerasan lain. Pindahkan atau ubah posisi penderita hanya apabila tindakan anda adalah untuk menyelamatkan dari bahaya lain. \n\n 2. Bertindaklah dengan cepat apabila penderita mengalami perdarahan, kesulitan bernapas, luka bakar, atau terkejut (syok). \n\n 3. Jangan berikan cairan apapun kepada penderita yang pingsan atau setengah pingsan. Cairan dapat memasuki saluran pernapasan dan mengakibatkan kesulitan bernapas bagi penderita. \n\n 4. Jangan berikan alkohol pada penderita yang mengalami luka parah. \n\n \n\n Penderita Syok/Terkejut \n\n Seseorang mengalami syok, wajahnya akan tampak pucat, tubuhnya dingin dan berkeringat, nafas cepat, jantung berdegup kencang. Cara penanganannya: \n\n 1. Usahakan untuk membaringkan dan menempatkan kakinya pada posisi yang lebih tinggi daripada kepala, kecuali terdapat luka di kepalanya \n\n 2. Selimuti tubuhnya agar hangat, tetapi jangan sampai terlalu panas \n\n 3. Berikan minuman gula kepada penderita apabila penderita dalam keadaan benar-benar sadar \n\n \n\n Tersedak Makanan \n\n 1. Berdirilah di belakang penderita peluklah pinggangnya dengan kedua tangan \n\n 2. Kepalkan tangan Anda dan tekan kepalan tangan pada perut bagian atas tepat dibawah tulang iga, dan diatas pusar \n\n 3. Tarik kuat-kuat kepalan tangan Anda ke arah atas ulangi beberapa kali hingga makanan keluar dari tenggorokan penderita. \n\n \n\n Bahan Kimia atau Serangga Mengenai Mata \n\n Baringkan korban dan tuangkan air steril ke dalam matanya untuk menghilangkan bahan kimianya, kemudian kompreslah dengan kain kassa steril dan segera kunjungi atau panggil dokter terdekat. \n\n \n\n Jika serangga yang mengenai mata, ambillah dengan ujung saputangan bersih, jangan sekali - kali mengusap dengan tangan telanjang, segeralah kunjungi dokter apabila mata masih dirasa tidak nyaman. \n\n \n\n Sengatan Serangga \n\n Apabila tersengat lebah dan muncul bengkak, kompreslah segera dengan es, tidak sedikit dari orang yang tersengat lebah akan timbul alergi, segerlah ke dokter agar diberikan pertolongan. \n\n \n\n Keracunan \n\n Berilah minum (air putih, susu tawar, air kelapa) sampai penderita bisa memuntahkan makanannya, akan tetapi tidak semua orang bisa memuntahkan makanannya. Segeralah dibawa ke rumah sakit agar ditolong oleh dokter. \n\n \n\n Luka Bakar \n\n Alirkan/siram dengan air biasa/air mengalir di tempat yang terbakar, jika lukanya masih di tahap pertama hingga rasa sakit hilang, Jika luka bakar sudah melepuh sebaiknya langsung dibawa ke dokter. \n\n \n\n Luka lecet/Gores/Tersayat \n\n Cucilah dengan air, dan tutuplh luka dengan plester, band aid. Namun, jika luka terlalu besar dan dalam segeralah dibawa ke dokter. \n\n \n\n Perdarahan \n\n Hentikan perdarahan dengan cara menekan luka atau secara luka. Tekan terus-menerus, jangan melepas tekanan tiap sebentar hanya untuk melihat perdarahan sudah berhenti. Apabila setelah dilakukan tekanan tetapi perdarahan tidak berhenti, memungkinkan nadi atau pembuluh darah balik akan teputus, tekan nadi yang di dekat luka untuk menghentikan alirah darah dari jantung ke tempat lain. Segeralah ke dokter. \n\n \n\n Patah Tulang \n\n Jangan mencoba mengangkat atau memindahkan badan korban jika belum mahir melakukannya, jika tulang belakang yang patah, korban hanya boleh diusung dengan hati-hati dengan posisi berbaring di atas alas keras. Untuk patah tulang rahang, angkatlah rahang bawah hingga gigi atas dan bawah bersatu, lalu diikat dan dibawa ke dokter. Untuk patah tulang tangan dan kaki gunakan tongkat atau setumpuk koran untuk menyangga lalu balutlah sebagai penyangga sebelum bertemu dengan dokter. \n\n \n\n Terkilir \n\n Letakkan bagian tubuh yang terkilir lebih tinggi dari bagian tubuh yang lain untuk mencegah pembengkakan, segeralah ke dokter agar tidak terjadi perburukan di kemudian hari. \n\n \n\n Hal-hal diatas merupakan langkah yang bisa dilakukan apabila mendapati hal tersebut terjadi di perusahaan atau di sekitar kita. Tindakan cepat dan tepat akan mengurangi resiko dan kemungkinan terburuk terjadi bagi penderita. Membawa korban ke Dokter Spesialis Orthopedi menjadi langkah yang tepat untuk mengatasi dan menangani kecelakaan yang terjadi pada tempat kerja. \n\n \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Tangkuban Perahu<\/a><\/li>
- 03 Desember 2020<\/li><\/ul><\/div>
Apa itu Hepatitis?<\/a><\/h3>
Hepatitis biasanya terjadi karena virus, terutama salah satu dari virus hepatitis, yaitu A, B, dan C. Hepatitis juga bisa terjadi karena infeksi virus lainnya, seperti mononukleosis infeksiosa, demam kuning dan infeksi sitomegalovirus. Penyebab hepatitis nonvirus yang utama adalah alkohol dan obat-obatan. \n\n \n\n \n\n JENIS VIRUS HEPATITIS \n\n \n\n Virus Hepatitis A \n\n Virus Hepatitis A menyebar melalui fecal oral. Penyebaran ini terjadi akibat buruknya tingkat kebersihan. Di negara-negara berkembang sering terjadi wabah yang penyebarannya terjadi melalui air dan makanan. \n\n \n\n Virus Hepatitis B \n\n Penularannya tidak semudah virus hepatitis A. Virus hepatitis B ditularkan melalui darah atau produk darah. Penularan biasanya terjadi di antara para pemakai obat yang menggunakan jarum suntik bersama-sama, atau di antara mitra seksual (baik heteroseksual maupun pria homoseksual). \n\n \n\n Ibu hamil yang terinfeksi oleh hepatitis B bisa menularkan virus kepada bayi selama proses persalinan. Hepatitis B bisa ditularkan oleh orang sehat yang membawa virus hepatitis B. Di daerah Timur Jauh dan Afrika, beberapa kasus hepatitis B berkembang menjadi hepatitis menahun, sirosis dan kanker hati. \n\n \n\n Virus Hepatitis C \n\n Menyebabkan minimal 80% kasus hepatitis akibat transfusi darah. Virus hepatitis C ini paling sering ditularkan melalui pemakai obat yang menggunakan jarum bersama-sama. Jarang terjadi penularan melalui hubungan seksual. Untuk alasan yang masih belum jelas, penderita "penyakit hati alkoholik" seringkali menderita hepatitis C. \n\n \n\n Hepatitis dapat menjadi kronis jika tidak ditangani dengan baik. Sebuah survei menyatakan pemakai narkoba suntikan yang menggunakan jarum bersama-sama yang marak pada masa lampau, maka 18% tertular hepatitis B, 40% tertular HIV dan 70% tertular hepatitis C. \n\n \n\n Di Indonesia, angka Prevalensi Penderita Hepatitis C sebenarnya Kurang dari 1%, tetapi sebagian besar akan menjadi kronis, sehingga jumlah penderita kronisnya hampir sama dengan penderita hepatitis B kronis, yaitu sekitar 1 juta orang. \n\n \n\n \n\n PENCEGAHAN HEPATITIS \n\n \n\n Vaksin tersedia untuk pencegahan hepatitis A dan B yang merupakan vaksin tunggal ataupun vaksin gabungan. Kekebalan terhadap Hepatitis A mencapai 99-100% sebulan setelah menerima vaksin yang ke-2 kalinya (vaksin yang kedua 6 bulan kemudian setelah yang pertama). Vaksin hepatitis A tidak boleh digunakan untuk yang berusia di bawah satu tahun. Vaksin hepatitis B telah tersedia sejak tahun 1986 dan telah diterapkan sedikitnya pada 177 program nasional imunisasi untuk anak-anak. Kekebalan terjadi pada lebih 95% anak-anak dan dewasa muda yang menerima 3 dosis rekombinan vaksin, sebulan setelah vaksin yang ketiga (jadwal vaksinasi adalah 0, 1 bulan dan 6 bulan). \n\n \n\n \n\n Sahabat Hermina, jangan lupa untuk melakukan vaksin hepatitis sebagai salah satu langkah pencegahan hepatitis, karena mencegah tentunya lebih baik daripada mengobati. Salam sehat. \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Pasteur<\/a><\/li>
- 01 Desember 2020<\/li><\/ul><\/div>
Apakah Bekas Luka Dapat Hilang?<\/a><\/h3>
Setiap pasien dengan luka atau dengan rencana operasi biasanya bertanya-tanya, “Apakah luka ini akan meninggalkan bekas?” atau “Apakah bekas lukanya nanti bisa hilang?” \n\n \n\n Bekas luka atau parut atau scar adalah hasil akhir dari proses penyembuhan luka. Luka sendiri dapat disebabkan oleh berbagai jenis trauma seperti luka bakar, infeksi, suntikan, tindik, gigitan serangga, atau tindakan operasi. Luka akan mengalami tiga fase penyembuhan yaitu peradangan, pembelahan jaringan, dan maturasi, dengan hasil akhir berupa tertutupnya luka oleh jaringan parut. \n\n \n\n Untuk memperbaiki luka yang dalam, kulit tubuh kita tidak mengalami regenerasi membentuk jaringan yang serupa 100% dengan kondisi semula, tetapi menutup defek luka dengan jaringan ikat dalam bentuk parut. Dibandingkan jaringan normal, parut berbeda dalam hal penampilan, fungsi pendinginan suhu tubuh, dan kekuatan jaringan. Bahkan parut dapat menarik dan mengganggu fungsi organ sekitarnya. \n\n \n\n Gejala dan tanda parut berbeda-beda tergantung tahapan maturasinya. Parut yang baru terbentuk setelah luka menutup disebut parut imatur, dan masih menjalani tahap maturasi. Parut imatur berwarna kemerahan, tidak elastis, meninggi dibandingkan kulit sekitarnya, dan dapat disertai gatal atau nyeri. \n\n \n\n Setelah melalui tahap maturasi selama 6 bulan-1 tahun, parut disebut parut matur. Pada tahap ini, parut dapat bersifat normal atau abnormal. Parut matur disebut normal bila bersifat samar, yaitu berwarna pucat, lunak, rata (tidak meninggi ataupun cekung dibandingkan kulit sekitarnya), dan tidak disertai gatal atau nyeri. Parut inilah yang disebut parut favorable, dan merupakan target optimal dari terapi luka. \n\n \n\n Parut dikategorikan abnormal bila memiliki salah satu karakteristik berikut: \n\n \n Perbedaan warna. Dibandingkan kulit sekitar, parut abnormal tampak lebih gelap, bahkan dapat berwarna kemerahan atau kecoklatan. \n Menonjol. Terdapat 2 jenis parut demikian, yaitu parut hipertrofik (parut meninggi tetapi tidak melebar melebihi batas luka awal) dan keloid (parut meninggi dan melebar melebihi batas luka awal). \n Cekung, yang disebut parut atrofik \n Konsistensi keras \n Disertai keluhan gatal/nyeri \n Menarik organ sekitar, dapat menimbulkan gangguan gerak. Parut demikian disebut kontraktur. \n \n\n \n\n Untuk mengenal cara mencegah parut abnormal, kita perlu mengetahui penyebabnya, yang biasanya bersifat multifaktorial. Faktor-faktor ini dapat bersifat tidak dapat dirubah (nonmodifiable) atau dapat diupayakan (modifiable.) \n\n \n\n Faktor nonmodifiable adalah faktor yang tidak dapat diubah, antara lain: \n\n \n Usia. Pasien lanjut usia memiliki karakteristik kulit yang mengurangi risiko parut hipertrofik, sementara pasien muda dan anak-anak memiliki risiko lebih tinggi. \n Ras. Kulit ras Asia dan Afrika lebih berisiko menderita parut hipertrofik dan keloid. \n Riwayat sebelumya. Pasien dengan riwayat parut abnormal sebelumnya lebih berisiko menghasilkan parut abnormal pada luka selanjutnya. \n Riwayat keluarga. Karena faktor genetik dalam pembentukan parut abnormal, pasien yang memiliki anggota keluarga dengan riwayat parut abnormal akan lebih berisiko. \n Karakteristik luka: lokasi, arah, kedalaman dan luas luka. \n \n\n \n\n Beberapa area tubuh lebih berisiko menghasilkan parut abnormal. Luka pada area anggota gerak dengan kulit yang lebih tegang lebih berisiko menjadi parut hipertrofik. Sementara area telinga, bahu, dan dada rentan menimbulkan keloid. \n\n Tubuh manusia memiliki garis-garis alami yang menggambarkan ketegangan kulit. Luka yang sejajar garis tersebut akan tampak lebih samar, dan sebaliknya. \n\n Semakin dalam dan luas luka, semakin berisiko menjadi parut yang abnormal. \n\n \n\n Faktor modifiable. Faktor-faktor ini dapat diupayakan oleh dokter untuk menghasilkan parut yang optimal, di antaranya: \n\n \n Teknik bedah. Perawatan dan penutupan luka dapat dilakukan seoptimal mungkin untuk menghasilkan parut yang samar. Hal ini diterapkan dengan pembersihan luka, kontrol perdarahan, dan teknik penjahitan luka yang adekuat. Khusus untuk luka yang disengaja (luka operasi), desain sayatan dapat dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan lokasi, arah, dan panjang luka yang lebih samar. Pada kasus demikian, upaya mencapai parut yang samar dapat dimulai bahkan sebelum luka terbentuk. \n Perawatan parut. Optimalisasi pematangan parut dilakukan selama fase maturasi, yaitu sejak luka menutup hingga 6 bulan–1 tahun setelahnya. Perawatan parut dapat dilakukan dengan silikon, taping, pressure garment, dan masase parut. \n \n\n \n\n \n\n Berbagai metode/cara penanganan: \n\n \n Dressing silikon \n Taping \n Pressure garment \n Masase (pemijatan) parut \n Laser \n Injeksi obat (kortikosteroid, kemoterapi, toksin botulinum) \n Cryoterapi \n Pembedahan \n Radiasi \n Fat graft \n \n\n \n\n Pilihan metode yang dilakukan tergantung pada tahapan maturasi dan karakteristik parut. Parut matur yang abnormal mungkin memerlukan tata laksana yang lebih invasif. Untuk kasus keloid, beberapa metode dapat dilakukan sekaligus untuk mengurangi risiko kekambuhan. \n\n \n\n Dengan demikian, target terapi yang realistis dari setiap luka adalah parut yang samar (favorable), bukan tidak adanya parut sama sekali. Mengupayakan hasil akhir parut yang samar dimulai dari perencanaan luka (bila memungkinkan), teknik penutupan luka, hingga perawatan parut luka selama proses maturasi. Konsultasi dengan dokter bedah plastik dianjurkan untuk menentukan metode penanganan yang sesuai. \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Pekalongan<\/a><\/li>
- 30 November 2020<\/li><\/ul><\/div>
Mengenal Typhoid dan DBD dari Gejalanya<\/a><\/h3>
Sahabat Hermina, banyak orang yang kesulitan membedakan tipes (typhoid) dan DBD karena keduanya sama-sama diawali dengan gejala berupa demam. Meski gejala awalnya sama, typhoid dan DBD merupakan penyakit yang berbeda, baik penyebab, pengobatan, maupun pencegahannya. \n\n \n\n Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus Dengue, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Sedangkan demam typhoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi, yang ditularkan melalui makanan. \n\n \n\n Walaupun sama-sama penyakit infeksi, typhoid dan DBD perlu ditangani dan dicegah dengan cara yang berbeda. Agar bisa membedakan typhoid dan DBD, Anda perlu memahami dulu apa saja perbedaan gejala kedua penyakit ini. \n\n \n\n Perbedaan Demam pada Typhoid dan DBD \n\n \n\n Demam merupakan gejala awal yang timbul pada DBD maupun typhoid. Bukan hanya karena infeksi, demam atau peningkatan suhu tubuh juga bisa disebabkan oleh peradangan, penyakit autoimun, bahkan dehidrasi. Oleh karena itu, demam juga perlu dibedakan berdasarkan sifatnya. \n\n \n\n Ada sedikit perbedaan pola demam pada penyakit typhoid dengan demam berdarah (DBD). \n\n \n\n DBD ditandai dengan demam tinggi (suhu antara 39-40 derajat Celcius) yang muncul secara mendadak, demam bisa berlangsung sampai tujuh hari dan terjadi secara terus menerus. \n\n Pada typhoid, demam akan muncul secara bertahap. Saat gejala awal muncul, suhu tubuh bisa normal atau rendah, lalu akan naik secara perlahan setiap hari, dan bisa mencapai 40 derajat Celcius. \n\n \n\n \n\n Perbedaan Gejala Khas Typhoid dan DBD \n\n \n\n Ada gejala khas yang muncul pada masing-masing penyakit. Gejala khas pada DBD adalah perdarahan, seperti mimisan, gusi berdarah, menstruasi yang lebih panjang atau lebih banyak, BAB berdarah, atau muntah darah. \n\n \n\n Tanda perdarahan pada DBD bisa juga tidak terlihat, sehingga dokter atau perawat perlu melakukan uji banding menggunakan alat pengukur tekanan darah (tensimeter), untuk memicu perdarahan pada kulit berupa bintik-bintik merah. \n\n \n\n Sementara itu, penyakit typhoid ditandai dengan gejala awal berupa gangguan saluran pencernaan, seperti sembelit atau diare, rasa tidak nyaman di perut, hingga nyeri perut. \n\n \n\n \n\n Pemeriksaan Tambahan untuk Typhoid dan DBD \n\n \n\n Bila mengalami gejala typhoid atau DBD, Anda perlu berkonsultasi dengan dokter. Dokter akan menanyakan gejala yang Anda rasakan, melakukan pemeriksaan fisik, serta melakukan beberapa pemeriksaan penunjang, seperti tes darah, untuk mengetahui penyebab gejala tersebut. \n\n \n\n Pemeriksaan hitung darah lengkap pada penderita demam berdarah dilakukan untuk menilai kekentalan darah, jumlah sel pembekuan darah (trombosit atau keping darah), serta jumlah sel darah merah atau hemoglobin. Pemeriksaan darah dapat dilakukan secara berkala setiap hari. \n\n \n\n Berbeda dengan demam berdarah, pemeriksaan darah bagi penderita typhoid bertujuan untuk melihat antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi. \n\n \n\n Pengobatan kedua penyakit ini juga berbeda. Pengobatan utama DBD dilakukan dengan memenuhi kebutuhan cairan tubuh, sedangkan penyakit typhoid memerlukan antibiotik untuk menghilangkan infeksi. \n\n \n\n \n\n Langkah Pencegahan Typhoid dan DBD \n\n \n\n Cara pencegahan typhoid dan DBD juga berbeda. Untuk mencegah DBD, Anda dapat memasang kelambu, menggunakan lotion anti nyamuk, rajin membersihkan lingkungan, menguras bak mandi, serta menutup tempat penampungan air. \n\n \n\n Sementara upaya pencegahan typhoid dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan asupan makanan atau minuman, yaitu dengan mencuci tangan sebelum makan, mencuci bahan makanan hingga bersih, serta mengonsumsi air matang atau air kemasan yang terjamin kebersihannya. \n\n \n\n Dengan mengetahui perbedaan typhoid dan DBD, Anda diharapkan dapat lebih waspada terhadap kedua penyakit ini, serta melakukan penanganan awal dan perawatan yang tepat. \n\n \n\n Namun untuk memastikannya, Anda perlu memeriksakan diri ke dokter. Dokter akan memberikan pengobatan yang sesuai untuk mengatasi penyakit yang Anda derita dan mencegah komplikasi yang dapat berakibat fatal, salam sehat. \n\n \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Daan Mogot<\/a><\/li>
- 27 November 2020<\/li><\/ul><\/div>
Biduran yang Membandel: Apa Saja yang Harus Diketahui?<\/a><\/h3>
Istilah biduran mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita. Urtikaria atau yang dikenal sebagai biduran, merupakan kelainan kulit yang ditandai dengan munculnya bentol atau ruam kemerahan yang meninggi secara tiba-tiba yang disertai rasa gatal, panas seperti terbakar, atau disertai bengkak yang disebut angioedema. Kondisi ini dapat muncul di mana saja di seluruh area tubuh, termasuk wajah, mukosa bibir, lidah, tenggorokan, dan telinga. Umumnya, ruam yang muncul bersifat sementara dan hilang dalam waktu 24 – 36 jam. Akan tetapi, kondisi ini bisa berlangsung hilang timbul dalam waktu yang singkat (< 6 minggu) dan lama atau kronis (> 6 minggu). \n\n Walau umumnya merupakan kondisi yang ringan, urtikaria yang berlangsung lama dapat mengganggu kualitas hidup penderitanya. Pada kasus yang berat terutama angioedema yang mengenai mukosa mulut dan tenggorokan atau disertai reaksi anafilaksis, pasien bisa mengalami kondisi yang serius dan mengancam jiwa. Oleh karena itu, mari kita kenali lebih dalam apa saja yang menjadi penyebab biduran dan bagaimana mengatasinya. \n\n \n\n Berbagai Penyebab Biduran \n\n Berdasarkan penyebabnya, secara garis besar urtikaria dibagi menjadi 2 kelompok yaitu spontan dan terinduksi (tabel 1). Pada urtikaria spontan, ruam yang muncul biasanya bervariasi baik dalam hal ukuran dan bentuk. Terkadang pada kasus yang berat ruam bisa menjadi keunguan dan bertahan selama beberapa hari atau lebih lama dari biasanya. Pada kasus yang seperti ini, biduran bisa disebabkan oleh peradangan pembuluh darah kulit atau yang disebut dengan vaskulitis. Ruam biduran pada urtikaria terinduksi umumnya tersebar pada area tertentu yang terkena rangsangan fisik saja. \n\n Studi epidemiologi menunjukkan urtikaria kronis diderita oleh 1–1,5% populasi dunia dan 66–93% disebabkan oleh urtikaria spontan kronis, tetapi hanya 4–33% yang berupa urtikaria terinduksi. Oleh karena itu, mayoritas masyarakat mengalami biduran yang terjadi secara spontan tanpa adanya rangsangan fisik atau mengetahui penyebabnya. Hal ini sering menimbulkan kekhawatiran karena biduran bisa hilang timbul dalam waktu yang cukup lama tanpa mengetahui pencetusnya sehingga mengganggu kualitas hidup penderitanya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan dan menyeluruh pada penderita urtikaria spontan kronis untuk mengetahui kemungkinan faktor pencetus yang menyebabkan. \n\n Urtikaria spontan akut biasanya dicetuskan oleh beberapa faktor seperti infeksi virus dan bakteri yang akut, obat-obatan dan alergi (makanan, sengatan lebah). Umumnya koneksi antara faktor pencetus dan reaksi terlihat jelas, tetapi hampir setengah dari kasus sulit untuk ditentukan penyebabnya. \n\n Pada kasus urtikaria kronis, infeksi sering ditemukan menjadi pencetus urtikaria meliputi Helicobacter pylori pada lambung, saluran kemih, cacingan, dan infeksi bakteri pada gigi berlubang. Selama masa pandemi COVID-19, beberapa penelitian menunjukkan sekitar 10% kasus infeksi virus SARS-COV-2 mengalami urtikaria sebelum gejala batuk, sesak, demam, hilangnya sensasi penciuman dan perasa muncul, serta 45% bersamaan dengan gejala tersebut. \n\n Selain infeksi, gangguan fungsi kelenjar tiroid, penyakit autoimun, gigitan serangga dan reaksi hipersensitivitas non-alergi (pseudoallergy) terhadap bahan makanan yang mengandung salicylate, amine, zat aditif, dan obat anti-inflamasi nonsteroidal, ditemukan juga dapat menjadi penyebab terjadinya urtikaria kronis. Untuk itu, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya perlu dilakukan untuk mengetahui faktor pencetus dari biduran, dan sangat penting dilakukan terhadap pasien urtikaria spontan kronis. \n\n \n\n Pemeriksaan Penunjang yang Perlu Dilakukan \n\n Urtikaria akut umumnya dapat sembuh sendiri dan hanya membutuhkan pengobatan untuk mengurangi gejala. Biasanya dokter dapat menegakkan diagnosis berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, sehingga pemeriksaan penunjang biasanya tidak diperlukan pada kondisi seperti ini. \n\n Dalam kasus dengan biduran yang berlangsung lebih dari 6 minggu, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah berkonsultasi dengan dokter spesialis kulit dan kelamin untuk menggali riwayat perjalanan penyakit yang lengkap dan pemeriksaan laboratorium sederhana meliputi pemeriksaan darah lengkap, laju endap darah dan CRP untuk mengetahui proses peradangan dalam tubuh. Kemudian, baru ditentukan apakah melakukan pemeriksaan penunjang lain untuk menentukan penyebab dari infeksi atau reaksi alergi seperti tertera pada tabel 1. \n\n \n\n Penanganan Kondisi Biduran \n\n Pada kondisi dengan urtikaria akut, biasanya ruam dan gejala dapat diatasi dengan pemberian antihistamin atau obat alergi. Jika faktor pencetus diketahui, sebaiknya pasien menghindari sebisa mungkin. \n\n Hal berbeda dibutuhkan dalam penanganan biduran yang membandel atau urtikaria kronis. Pengobatannya sering membutuhkan waktu beberapa bulan hingga tahun. Obat antihistamin generasi kedua (seperti cetirizine, levocetirizine, loratdine, desloratadine) merupakan pengobatan lini pertama pada kasus urtikaria kronis tetapi membutuhkan dosis yang ditingkatkan hingga empat kali. Pada pasien yang tidak memberikan respons yang baik dengan pengobatan ini, maka diperlukan obat tambahan seperti steroid, omalizumab, dan obat-obat imunosupresan seperti siklosporin. Yang paling ideal adalah menemukan faktor pencetus dari biduran sehingga selanjutnya dapat dihindari atau penyebabnya dapat diatasi. \n\n Pengobatan urtikaria kronis dapat bervariasi tergantung dari penyebabnya. Pada kasus karena alergi obat, pasien disarankan untuk menghentikan penggunaan obat yang diperkirakan menjadi pencetus dan diganti dengan golongan obat jenis lain jika dibutuhkan sesuai dengan kondisi pasien. Biduran yang disebabkan oleh infeksi bakteri, pengobatan dengan antibiotik yang sesuai diperlukan untuk dapat mengatasi kondisi tersebut. \n\n Umumnya, kasus urtikaria yang disebabkan oleh alergi atau intoleransi makanan jarang terjadi. Oleh karena itu, pengubahan pola makan harus melalui saran dokter dan anjuran ahli gizi, setelah dilakukan pemeriksaan yang memastikan makanan sebagai faktor pencetus. Pada kasus yang tidak diketahui faktor pencetusnya, pembuatan catatan harian mengenai kapan saja dan dalam kondisi apa biduran muncul akan sangat membantu dokter dalam menentukan kemungkinan penyebabnya. \n\n Biduran yang membandel dapat disebabkan oleh berbagai faktor pencetus. Sering terjadi koneksi antara faktor pencetus tidak ditemukan secara langsung dengan terjadinya ruam biduran, sehingga membutuhkan pendalaman riwayat perjalanan penyakit dan pemeriksaan penunjang yang akan membantu penelusuran penyebab dari urtikaria. \n\n Sangat disarankan kepada penderita biduran yang berlangsung lama dan tidak teratasi dengan pemberian obat-obat antihistamin untuk berkonsultasi ke dokter spesialis kulit dan kelamin agar dapat dilakukan investigasi lebih lanjut mengenai penyebab dari kondisi urtikaria yang diderita. Dengan demikian, tatalaksana yang diberikan dapat menjadi lebih tepat sasaran dan efisien, yang disesuaikan dengan penyebab dari kondisi biduran. \n\n \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Palembang<\/a><\/li>
- 27 November 2020<\/li><\/ul><\/div>
Mitos dan Fakta Mengenai Penyakit Jantung<\/a><\/h3>
Sahabat Hermina, banyak sekali di antara kita yang salah kaprah mengenai penyakit jantung. Banyak gejala-gejala yang timbul yang kita duga sebagai gejala penyakit jantung, tetapi apakah itu selalu benar? Jawabannya tidak, karena banyak di antara kita yang hanya menduga-duga mengenai kondisi tubuh yang kita alami. Namun, setelah di periksa oleh dokter hasilnya tidak selalu sesuai dengan dugaan kita. \n\n \n\n Terdapat banyak mitos tentang penyakit jantung yang salah satunya berbunyi “saya masih muda, tidak mungkin bisa terkena penyakit jantung”. Apakah hal tersebut benar? Asumsi yang salah dapat membahayakan jantung. Penyakit jantung dapat membunuh lebih banyak orang di segala usia. Berikut mitos dan fakta tentang penyakit jantung yang banyak beredar di masyarakat yang mungkin sering Sahabat Hermina temukan: \n\n \n\n Mitos: “Saya masih muda, tidak mungkin terkena penyakit jantung.” \n\n Fakta: Gaya hidup yang sedang dijalani dapat mempengaruhi risiko untuk terjadinya penyakit jantung atau kardiovaskular di kemudian hari. Plak pada pembuluh darah dapat mulai terakumulasi sejak masa kanak-kanak dan remaja. Plak yang terakumulasi dapat menyebabkan penyumbatan arteri sehingga meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung. Orang-orang muda atau dewasa dapat memiliki resiko tinggi mengalami masalah pada jantung, terutama yang sedang menderita diabetes dan obesitas. \n\n \n\n Mitos: “Kok bisa tekanan darah saya tinggi? Saya tidak pernah merasakan pusing.” \n\n Fakta: Peningkatan tekanan darah hingga melebihi normal atau hipertensi merupakan penyakit “silent killer” karena pada umumnya tidak menimbulkan gejala. Perlu dilakukan pemeriksaan tekanan darah secara rutin untuk mengetahui kondisi tubuh. Terapi pengobatan sedini mungkin dapat mencegah terjadinya serangan jantung, stroke, kerusakan ginjal, dan masalah kesehatan lainnya. \n\n \n\n Mitos: Serangan jantung akan ditandai dengan terjadinya nyeri pada dada. \n\n Fakta: Serangan jantung memang identik dengan nyeri pada dada, tetapi belum tentu hal tersebut dapat terjadi. Serangan jantung memiliki beberapa tanda dan gejala seperti sesak nafas, mual, merasa pusing, dan rasa sakit atau ketidaknyamanan pada satu atau kedua lengan, rahang, leher, atau punggung. \n\n \n\n Mitos: Seseorang yang memiliki keturunan penyakit jantung tidak dapat melakukan tindakan pencegahan. \n\n Fakta: Seseorang yang memiliki keturunan penyakit jantung memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita penyakit jantung daripada orang yang tidak memiliki keturunan menderita penyakit tersebut. Namun, terdapat bermacam-macam cara untuk dapat mencegah terjadinya penyakit jantung seperti mengontrol kolesterol, perubahan gaya hidup, mengontrol tekanan darah, mempertahankan berat badan agar tetap ideal, mengontrol kadar gula dalam darah, dan berhenti merokok. \n\n \n\n Mitos: Gagal jantung adalah sama dengan jantung berhenti berdetak. \n\n Fakta: Jantung akan berhenti berdetak ketika terjadi serangan jantung. Gagal jantung adalah kondisi dimana jantung terus bekerja tetapi tidak memompa darah sesuai fungsinya. Hal ini dapat menyebabkan sesak nafas, pembengkakan pada kaki dan pergelangan kaki atau batuk secara persisten atau terus menerus dan nafas berbunyi “ngik”. Selama serangan jantung, seseorang akan kehilangan kesadaran dan berhentu bernafas normal. \n\n \n\n Mitos: Nyeri pada kaki merupakan tanda-tanda penuaan dan bukan merupakan tanda terjadinya masalah pada jantung. \n\n Fakta: Nyeri atau sakit pada kaki dapat merupakan tanda terjadinya penumpukan plak pada pembuluh darah arteri. Penyumbatan pada pembuluh darah arteri dapat meningkatkan terjadi serangan jantung atau stroke. \n\n \n\n Mitos: “Jantung saya berdetak sangat kencang. Apakah ini tanda-tanda saya mengalami serangan jantung?” \n\n Fakta: Kecepatan denyut jantung bergantung pada aktivitas, ketika sedang merasa senang, dan dapat juga karena pengaruh hormon. Detak jantung yang tidak normal dan tidak teratur memiliki kemungkinan kecil untuk mempengaruhi kerja jantung. \n\n \n\n Mitos: “Olahraga dapat memperburuk kondisi jantung setelah mengalami serangan jantung.” \n\n Fakta: Olahraga tidak memperburuk kondisi jantung setelah serangan jantung. Olahraga disarankan bagi penderita penyakit kronis. Berkonsultasi dengan dokter diperlukan untuk mengetahui batasan-batasan olahraga yang diperbolehkan. \n\n \n\n Nah, Sahabat Hermina, itulah mitos-mitos mengenai penyakit jantung yang sering kita temui. Tetap jaga kesehatan gaya hidup sehat sejak dini untuk mencegah terjadinya penyakit jantung di kemudian hari. Salam sehat. \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Ciruas<\/a><\/li>
- 26 November 2020<\/li><\/ul><\/div>
Apa Itu Usus Buntu?<\/a><\/h3>
Sahabat Hermina, pernahkah Anda mengalami sakit perut tidak tertahankan pada bagian perut bawah sebelah kanan? Hati-hati itu mungkin bisa saja tanda usus buntu. \n\n \n\n Usus buntu merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks atau usus buntu. Usus buntu adalah penonjolan yang terjadi di sisi kanan usus besar yang menyerupai umbai cacing. Usus buntu bisa terjadi pada siapapun tanpa melihat usia, tetapi paling sering terjadi pada usia 18-35 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan anak-anak juga bisa mengalaminya. \n\n \n\n Penyebab Usus Buntu \n\n Usus buntu terjadi ketika apendiks atau usus buntu tersumbat oleh tinja, benda asing, atau tumor. Penyebab lain terjadinya sumbatan bisa juga dikarenakan adanya infeksi, sebab secara normal usus buntuk akan membengkak sebagai respon dari adanya infeksi dalam tubuh. \n\n \n\n Gejala Usus Buntu \n\n Gejala yang sering dirasakan biasanya dimulai dengan rasa nyeri atau sakit yang tidak nyaman pada bagian perut tengah sekitar pusar. Sakit ini bersifat hilang timbul, lalu dalam 12-24 jam, nyeri yang dirasakan berpindah ke area perut kanan bawah, tempat usus buntu berada. Rasa sakit dan nyeri ini semakin parah ketika penderita berjalan, batuk, atau terjadi penekanan pada area tersebut. \n\n \n\n Selain itu, gejala usus buntu lainnya adalah: \n\n \n Nafsu makan hilang \n Mual dan muntah setelah perut terasa nyeri \n Demam ringan hingga sedang, biasanya 37.2 – 38.9 °C \n Sulit buang angin \n Nyeri saat buang air kecil \n Kram perut \n Diare \n \n\n \n\n Apabila mengalami gejala-gejala diatas segera cari pertolongan medis. Jangan makan, minun, atau menggunakan obat-obatan yang mengakibatkan pecahnya usus buntu yang meradang. \n\n \n\n Pengobatan Usus Buntu \n\n Penangan utama terhadap usus buntu adalah dengan melakukan prosedur operasi usus buntu atau pandektomi. Tindakan ini dilakukan untuk menghindari terjadinya risiko pecahnya usus buntu. \n\n \n\n Operasi usus buntu dilakukan dibawah bius total dengan cara operasi terbuka (lapartomi) dan operasi lubang kecil (laparoskopi). Laparoskopi dilakukan apabila usus buntu belum pecah atau munculnya kantong kumpulan nanah (abses). Jika usus buntu telah membentuk abses, akan dilakukan pengeluaran cairan dan nanah disertai pemberian antibiotic. \n\n \n\n Cara Mencegah Usus Buntu \n\n Mencegah usus buntu dapat dengan cara: \n\n \n Makan makanan yang sehat dan berserat \n Minum air putih yang cukup \n Makan dengan tenang dan tidak terburu-buru \n Makan makanan probiotik seperti tempe, yogurt, dll \n Batasi asupan kafein atau alcohol \n Tidak menunda BAB (Buang air besar) \n Konsumsi Vitamin A dan D \n Tidur cukup \n Kurangi makanan siap saji \n Melakukan olahraga rutin \n \n\n \n\n \n\n Setelah mengetahui apa itu usus buntu, kini Sahabat Hermina tidak perlu khawatir lagi. Cegah usus buntu sebisa mungkin. Apabila merasakan gejala-gejala usus buntu, jangan ragu untuk datang kerumah sakit, karena penangan yang terlambat pada usus buntu sangat berisiko. Tetap jaga kesehatan dimanapun dan kapanpun. \n\n \n\n \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Ciruas<\/a><\/li>
- 26 November 2020<\/li><\/ul><\/div>
Perlukah Ibu Hamil Melakukan Pemeriksaan USG?<\/a><\/h3>
Apakah Sahabat Hermina melakukan pemeriksaan USG secara rutin? \n\n Perlukah melakukan pemeriksaan USG? Jawabannya Iya. \n\n Pemeriksaan USG secara rutin sangat di anjurkan untuk mengecek kondisi janin yang berada di dalam kandungan. Apabila masih ragu, berikut penjelasan betapa perlunya melakukan pemeriksaan USG pada ibu hamil. \n\n \n\n Ultrasonography atau biasa dikenal USG adalah pemeriksaan penunjang yang memanfaatkan gelombang suara atau ultrasound dengan frekuensi tinggi untuk melihat gambar. USG biasa dilakukan untuk melihat berkembangan janin yang berada dalam kandungan secara lansgung. Dengan melakukan USG, ibu hamil bisa melakukan deteksi dini apabila terjadi kelainan pada kondisi janin. \n\n \n\n Kendala yang terjadi sekarang, banyak ibu hamil tidak dapat melakukan pemeriksaan USG karena biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. \n\n \n\n Di satu sisi, tentu para ibu sudah mengetahui betapa penting melakukan pemeriksaan. Namun, tenang saja, pemeriksaan USG pada ibu hamil tidak dilakukan setiap minggu ataupun setiap kontrol ke dokter. \n\n \n\n Pemeriksaan USG pada ibu hamil idealnya dilakukan minimal 3 kali selama masa kehamilan. Pertama pada masa kehamilan trimester 1 atau awal kehamilan pada usia kandungan 11–14 minggu. Lalu, pada masa kehamilan trimester 2 atau usia kandungan memasuki minggu ke-20. Terakhir pada masa kehamilan trimester 3 atau usiia kandungan memasuki minggu ke-30. \n\n \n\n Pemeriksaan USG pada Ibu hamil dilakukan dengan menggunakan gelombang suara atau ultrasound melalui dinding rahim, kemudian dari gelombang suara tersebut akan menghasilkan gambar. Gambar tersebut menunjukkan pergerakan janin serta posisi janin pada saat dalam kandungan. USG sendiri memiliki fungsi untuk mengetahui kondisi janin dalam kandungan. \n\n \n\n USG sangatlah aman dilakukan Ibu hamil sesering mungkin. Dokter kandungan bahkan tidak membatasi berapa kali Ibu hamil melakukan USG. Karena USG sangat berbeda dengan prosedur CT-Scan atau X-ray yang bisa memberikan efek bahaya jika di lakukan terus menerus. \n\n \n\n Alasan ibu hamil dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan USG minimal 3 kali selama masa kehamilan adalah untuk membantu dalam mendapatkan informasi penting terkait perkembangan bayi selama berada dalam kandungan. \n\n Beberapa maanfaat pemeriksaan USG: \n\n \n Mengetahui usia kehamilan \n Mengetahui detak jantung janin \n Mengetahui pertambahan berat badan janin \n Mengetahui letak posisi janin \n Mengetahui jenis kelamin janin \n Mengetahui kondisi organ reproduksi \n Mengetahui bila terjadi kelainan pada kehamilan \n Dapat mengukur cairan ketuban \n Mengetahui posisi plasenta \n Deteksi dini cacat bawaan atau kelainan fisik \n \n\n \n\n Dalam dunia kedeokteran, ada kurang lebih 3 jenis USG yang bisa dilakukan, yaitu: \n\n 1. USG 2D \n\n USG ini menghasilkan foto hitam putih, dimana hanya memperlihatkan janin dari satu sisi saja, yaitu dari sisi panjang dan lebar janin. \n\n 2. USG 3D \n\n USG ini mengahsilkan foto lebih baik dibanding USG 2D. Hasil foto 3D memberikan gambar yang lebih jelas dan lebih tajam. Dengan USG 3D, ibu juga bisa melihat secara keseluruhan kondisi janin, dari sisi panjang, lebar dan tinggi. \n\n 3. USG 4D \n\n USG ini menghasilkan gambar yang bergerak atau video yang bisa di simpan dalam CD. Ibu bisa melihat bagaimana pergerakan janin yang berada dalam kandungan secara lansgung. \n\n \n\n \n\n Sekarang Sahabat Hermina sudah mengetahui perlunya ibu hamil melakukan pemeriksaan USG. Jadi, jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan USG secara rutin minimal 3 kali selama masa kehamilan untuk mengetahui bagaimana kondisi janin. Salam sehat. \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Pasteur<\/a><\/li>
- 26 November 2020<\/li><\/ul><\/div>
Saraf Terjepit<\/a><\/h3>
Nyeri pinggang atau low back pain adalah munculnya nyeri di area punggung bawah yang diakibatkan oleh aktivitas atau disebabkan adanya suatu penyakit lain. Salah satu penyebab dari low back pain yaitu Herniated Nucleus Pulposus (HNP), ini merupakan suatu kondisi ketika bantalan di tulang belakang keluar dari tempat asalnya hingga menjepit saraf sekitarnya. Insidensi di Amerika Serikat, sebanyak 5%, dengan 60-80% individu pernah mengalami keluhan seperti ini. \n\n \n\n Pada kondisi awal sebelum terjadinya HNP bisa dilakukan pencegahan berupa: \n\n \n Pembatasan beban angkat \n Berolahraga secara teratur, terutama jenis olahraga yang dapat menguatkan otot serta sendi di tungkai dan punggung, misalnya berenang \n Menjaga postur tubuh yang baik, seperti duduk dengan punggung yang tegak, atau mengangkat beban dengan posisi yang benar \n Mempertahankan berat badan ideal, untuk mencegah tekanan berlebih pada tulang belakang \n \n\n \n\n Pada pasien dengan keluhan awal atau gejala ringan seperti mulai munculnya nyeri otot, atau kesemutan, disarankan untuk beristirahat atau mengurangi aktivitas selama beberapa hari atau minggu. \n\n Adapun pilihan terapi lain yang juga membantu meringankan keluhan, seperti pijat, terapi dingin atau panas, stretching, stimulasi otot secara elektris, dan lainnya. Akan tetapi jika keluhan tersebut dirasa masih belum membaik maka dapat dimulai terapi inisiasi pemberian obat-obatan anti nyeri dan pelemas otot. Pemberian obat obatan tersebut diharapkan dapat mengurangi keluhan pada pasien. \n\n \n\n Pada kasus berat, tatalaksana yang dipertimbangkan adalah operasi. Indikasi untuk dilakukan operasi yaitu mulai munculnya gangguan motorik dan gangguan otonom dimana pasien mulai adanya gangguan organ sekitar yang dipersarafi oleh organ yang cedera dengan munculnya nyeri hebat, kebas atau kelemahan otot, tidak mampu menahan kencing atau buang air besar, dan kesulitan berdiri atau berjalan. Jika sudah munculnya gangguan tersebut maka operasi bisa menjadi pertimbangan untuk penyembuhan pasien. \n\n \n\n Tetap menjaga kesehatan dengan melakukan pola hidup sehat. Apabila Anda mengalami gejala atau keluhan terkait nyeri punggung segera konsultasikan ke dokter spesialis saraf. Salam sehat. \n<\/p><\/div><\/div><\/div>"); $('#div_next_link').html(" <\/a><\/span>");
- 26 November 2020<\/li><\/ul><\/div>
- 26 November 2020<\/li><\/ul><\/div>
- 26 November 2020<\/li><\/ul><\/div>
- 27 November 2020<\/li><\/ul><\/div>
- 27 November 2020<\/li><\/ul><\/div>
- 30 November 2020<\/li><\/ul><\/div>
- 01 Desember 2020<\/li><\/ul><\/div>
- 03 Desember 2020<\/li><\/ul><\/div>
- 03 Desember 2020<\/li><\/ul><\/div>
- 03 Desember 2020<\/li><\/ul><\/div>
- 07 Desember 2020<\/li><\/ul><\/div>
- 07 Desember 2020<\/li><\/ul><\/div>