Penanganan Perilaku Agresif Anak

Penanganan Perilaku Agresif Anak

Perilaku Agresif Anak: Apa dan Mengapa?

Perilaku agresif anak kerap kali ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Tidak jarang, anak yang dipersalahkan akan dihukum dan bahkan teman bermainnya serta media yang menemaninya sehari-hari tidak luput dari tudingan sebagai penyebab. Apakah memang demikian? Ataukah ada penyebab lainnya sehingga anak menjadi agresif? Salah satu contoh kasus, adalah A (3.5 tahun, laki-laki), sangat aktif dan cerdas dalam bereksplorasi, namun dikeluhkan ibunya sering memukul dan berteriak pada ayah dan ibunya, merusak mainan, dan sulit diatur. Kemudian ada F (5 tahun, laki-laki), dikeluhkan sering berkelahi dengan teman sebayanya bahkan anak yang lebih besar usianya. Mengganggu teman sepermainannya dan mengolok-olok dengan kata-kata kasar dan tidak sopan. Contoh lainnya, yang seringkali kita temui adalah anak-anak yang mudah mengumpat, menyakiti hewan/tumbuhan disekitarnya, melakukan pengeroyokan dan perundungan di sekolah. Agresivitas adalah tindakan fisik/ non-fisik yang dilakukan untuk melukai pihak lain sehingga menimbulkan dampak fisik/psikologis bagi korbannya (Zirpoli, 2008). Perilaku agresif merupakan ekspresi emosi negatif sebagai akibat dari adanya frustrasi pada pelaku (Seagal, 2010). Proses fisiologis perilaku agresif pada anak dimulai dengan lingkungan yang mengancam bagi seorang anak kemudian memunculkan kekhawatiran dan ketidakseimbangan unsur kimiawi tubuh (hormon) seperti penurunan serotonin dan peningkatan level vasopressin yang pada akhirnya memunculkan perilaku agresif anak. Penelitian menyebutkan bahwa 5-10% anak usia sekolah

menunjukkan perilaku agresif di USA (Masykouri, 2005).

Perilaku agresif pada anak diungkap oleh Gentile (2007) dapat terjadi akibat lima penyebab, yaitu (1) Buruknya komunikasi orangtua-anak, (2) Bias makna kekerasan (3) Pengalaman menjadi korban kekerasan (4) Paparan kekerasan melalui media (5) Paparan konten seksualitas. Di Indonesia, seiring meningkatnya kasus kekerasan dengan korban anak-anak, maka meningkat pula kasus perilaku agresi yang pelakunya adalah anak (KPAI, 2015; UNICEF Indonesia, 2015). Begitu pula terjadi peningkatan jumlah pelaku anak, kualitas kekerasan, dan

 

onset yang semakin dini. Fakta empiris yang ditemukan bentuk perilaku agresi dengan pelaku anak berupa agresi fisik, agresi yang meledak-ledak, agresi verbal, dan agresi tidak langsung. Semua hal tersebut disebabkan oleh identifikasi terhadap anggota keluarga yang memiliki masalaha kendali perilaku agresif atau anggota keluarga yang memiliki riwayat kekerasan, serta lingkungan sekitar yang kurang menyediakan kebutuhan kasih sayang pada anak (Arriani, 2014).

 

Penanganan Perilaku Agresif Anak

Ketika kita menemui anak-anak yang berperilaku agresif, tentu saja membawa kekhawatiran tersendiri karena kita memikirkan apakah perilaku tersebut akan menetap? Apakah perilaku agresif ini akan berkembang nantinya menjadi perilaku kenakalan atau keterlibatan mereka dalam pelanggaran hukum? Namun, sebelum terlalu jauh memikirkan hal tersebut, ada baiknya kita sebagai orang tua hendaknya mulai mencari akar penyebab terjadinya perilaku agresif. Semakin cepat diketahui dan ditangani maka semakin besar kemungkinan perilaku agresif tidak menjadi kebiasaan di kemudian hari. Apa yang perlu dilakukan orang tua dalam upaya menangani perilaku agresif anak, mari kita bahas satu persatu.

 

Memahami Anak

Sudahkah kita memahami kebutuhan anak sesuai perkembangannya? Potensi otak manusia pada dasarnya sudah cerdas sejak dilahirkan. Otak manusia akan mempertahankan apa yang “sering” diamatinya dan menghilangkan apa yang tidak pernah teramati olehnya. Darimana anak belajar bertingkah laku? Untuk menjadikan suatu kebiasaan, maka anak membutuhkan pembiasaan dari lingkungan sekitarnya. Anak membutuhkan konsistensi kita sebagai orang tua, untuk “menanamkan” bahwa ini dapat dilakukan dan ini tidak, sekaligus mengenali konsekuensi dari perilaku tersebut. Anak usia dini membutuhkan bantuan dalam mengidentifikasi emosi-emosi yang dirasakannya dan bagaimana cara-cara yang tepat dalam mengekspresikannya. Oleh karena itu, pengelolaan emosi dan perilaku pada anak sangat berkaitan dengan pengasuhan orang tua. Tahap pengasuhan yang perlu dipahami, terkait kebutuhan mengelola emosi dan perilaku anak, yaitu:

 

  1. Usia 0-6 tahun
    • Sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian besar dari orangtua, khususnya mendampingi mereka mengalami berbagai pengalaman suka duka, serta eksplorasinya.
    • Belaian sepenuh hati, pelukan hangat, kegiatan bermain dan bergurau menjadi aktivitas utama dalam pengasuhan di tahap ini.
    • Peran orangtua: contoh mutlak perilaku sehari-hari (parent as a role model)
    • Anak sadar siapa rujukan terbaiknya, mereka bagai handycam dengan spesifikasi terbaik yang merekam setiap peristiwa dan relasi antara orang tua dan dirinya. Bahkan dengan keterbatasan kemampuan kognitifnya, anak-anak mulai memetakan konsep-konsep perilaku yang dianggap berhasil dalam menyelesaikan masalah.

 

  1. Usia 7-14 tahun

 

    • Peran orangtua: mendidik dengan konsisten, penuh arahan dan tetap dilandasi kasih sayang
    • Anak mempelajari untuk disipilin, konsisten dan bertanggung jawab. Dalam tahapan ini, anak-anak sudah mampu memahami pemaknaan di balik perilaku. Ketika orang tua mengajak berdiskusi mengenai konsekuensi dari perilaku, dampaknya bagi anak maupun orang disekitarnya, anak telah mampu memahaminya. Mereka bahkan sangat membutuhkan konsistensi orang tua dalam menegakkan aturan dan mengatur peran sosial yang tepat dalam keluarga, sehingga anak memiliki kebiasaan yang positif, termasuk dalam mengekspresikan emosinya.
    • Kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan akan kasih sayang, peran sosial yang jelas, serta perasaan tidak dihargai keberadaannya menjadikan mereka seringkali merasa frustasi yang berakibat pada ketidakmampuannya menahan emosi, sehingga bertindak agresif.
    • Disiplin yang masih menerapkan hukuman fisik, bukanlah jalan keluar bagi perilaku agresif anak. Alih-alih mereka memahami tindakannya salah, malah mereka cenderung melihat bahwa kekerasan adalah solusi untuk menjadi dominan atau dihargai. Disiplin di sini seharusnya lebih menekankan pada konsekuensi dari tindakannya dan bagaimana berkomitmen pada tanggung jawab sehari-hari.

 

  1. Usia 15-21 tahun:

 

    • Mendidik dengan cara memandang anak “sejajar” dengan orang tua sebagai sesama manusia yang memiliki hak masing-masing, meskipun dalam keluarga anak harus tetap memahami ada aturan dan pemegang tanggung jawab utama di rumah, yaitu orang tua.
    • Pengasuhan pada tahap ini lebih banyak menggunakan pendekatan yang memfasilitasi adanya diskusi keluarga, mengajukan pendapat pada anggota keluarga, serta ikut serta dalam mengambil keputusan dan memiliki peran sekaligus tanggung jawab di keluarga.
    • Orang tua dan anak saling menghormati sebagai individu dengan tetap berdasarkan syariat/norma yang berlaku di keluarga.
    • Anak sudah selayaknya juga memahami apa yang menjadi kesulitan orang tua dalam rumah tangga, dengan memperhatikan tanggung jawab yang sesuai dengan usianya. Misalnya: anak memiliki tugas membersihkan kamarnya dan rumah, anak mengetahui jika memang kondisi ekonomi keluarga sedang menurun dengan diajak hidup sederhana
    • Ada keterbukaan antara orang tua-anak sehingga anak tidak frustrasi dan merasa memiliki sistem dukungan di rumah.

 

  1. Usia 21 tahun ke atas:

 

    • Tidak jarang di usia ini relasi orang tua- anak memburuk, seiring dengan berkembangnya konflik keluarga yang tidak terselesaikan dan meningkatnya kemandirian anak. Padahal, seharusnya, orang tua berperan sebagai sumber nasihat dan figur yang kaya pengalaman bagi anak, sehingga menjadi sumber rujukannya dalam menapaki kehidupan sebagai individu dewasa.
    • Tanggung jawab dan konsekuensi tindakan anak sepenuhnya ada pada anak itu sendiri, tidak lagi di bawah naungan orang tua. Kondisi selalu dikekang dan diatur, seringkali menimbulkan frutrasi pada anak dan berujung pada perilaku yang impulsif dan agresif.

 

Pengalaman positif

Berikan pengalaman “positif” pada anak sebanyak mungkin. Bekali anak dengan pemahaman yang “positif” mengenai dunianya saat ini. Salah satu studi yang dilakukan penulis mengungkap bahwa ternyata anak yang terpapar kekerasan dari media tidak melakukan tindakan

 

agresif di dunia nyata karena mereka selalu ada dalam lingkungan keluarga yang memiliki komunikasi yang hangat dengan orangtua, khususnya ayah, sehingga anak memahami bahwa apa yang ditampilkan di media bukanlah realita yang sesungguhnya (Dewi, K.S, dkk, 2015). Selain itu, dengan kedekatan orang tua-anak, maka anak akan memiliki pengalaman keterhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Anak yang sering diajak orang tuanya mengikuti pekerjaan orang tua, tahu kesulitan harian di rumah tangga, maka anak belajar berempati dan mengambil bagian dalam relasi sosial di rumah. Dengan mengajaknya mengamati sekitar, berbagi dengan sesama juga merupakan pengalaman positif dimana anak dapat menjadi prososial dan memahami kebutuhan sesamanya.

 

Aturan yang Jelas

Tetapkan aturan yang jelas dan konsisten dalam bertingkah laku, berikan anak pemahamanan konkret dan sesuaikan dengan perkembangan kognitifnya. Jangan lupa untuk melibatkan anak dalam penyusunan aturan tersebut, lakukan penerapan aturan secara bertahap dan saling mengingatkan satu sama lain. Berikan anak pemahaman yang jelas mengenai aktivitas yang “boleh” dan “tidak perlu”, jelaskan alasan itu boleh dilakukan dan tidak perlu dilakukan. Selain itu orang tua juga dapat bekerjasama dengan pihak sekolah sebagai upaya konsistensi aturan pada anak.

 

Pembiasaan

Biasakan mengekspresikan emosi dengan bijak seperti senang, sedih, marah dan kecewa. Tidak pelit berkata “maaf” pada anak. Orang tua perlu membiasakan perilaku positif dan hangat seperti memberikan pelukan, pujian, bicara sejajar saat berbicara dengan anak. Selain itu perhatikan kebiasaan etika berbicara di rumah tidak hanya pada anak, tetapi dengan pasangan anda. Perlu selalu diingat bahwa disiplin BUKAN hukuman dan paksaan!

 

Perhatikan kebutuhan anda & pasangan

Perlu menjadi perhatian bahwa interaksi pada orang tua mempengaruhi perilaku dan pribadi anak. Interaksi suami-istri yang tidak harmonis akan berdampak pada self anak & perilakunya. Self yang buruk ditunjukkan dengan perasaan rendah diri dan self-blame pada anak.

 

Selain itu rasa frustrasi pada anak dapat menimbulkan agresi yang ditujukan untuk menutupi kelemahan self anak. Dimana hal-hal tersebut dapat terbawa hingga dewasa oleh seorang anak. Maka tidak mengherankan jika seorang pelaku perundungan, biasanya memiliki kehidupan di keluarga yang buruk, atau memiliki masa kecil yang juga penuh kekerasan. Anak-anak pelaku perundungan, sebetulnya adalah “korban” pengasuhan orang tua dan relasi orang tua yang buruk sehingga mereka cenderung memiliki self image yang negatif. Di benaknya, untuk dapat berteman atau memiliki kepercayaan diri adalah dengan menekan dan mendominasi orang lain, sama halnya dengan yang dialaminya di rumah menjadi korban dominansi orang tuanya.

Cookie membantu kami memberikan layanan kami. Dengan menggunakan layanan kami, Anda menyetujui penggunaan cookie kami.