CYBER BULLYING

CYBER BULLYING

Bullying

Menurut United States Centers for Disease Control and Prevention, Departemen Pendidikan, dan Health Resources and Services Administration di Amerika Serikat pada tahun 2014, bullying didefinisikan sebagai perilaku agresif yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh pemuda atau kelompok pemuda yang bukan merupakan saudara atau pasangan, yang mencakup ketidakseimbangan kekuatan yang dapat dilihat atau dirasakan, dan terjadi secara berulang atau kemungkinan besar akan berulang. Bullying dapat menimbulkan bahaya pada korban seperti bahaya fisik, psikis, sosial, atau edukasional.

Hinduja dan Patchin mendefinisikan bullying dalam lima hal. Pertama, bullying bersifat disengaja. Kedua, harus ada bahaya fisik, emosional, atau hubungan yang dapan dinilai dari korban. Ketiga, perilaku menyakiti korban harus dilakukan secara berulang, Terakhir, terdapat unjuk kekuatan oleh pelaku terhadap korban.

Cyberbullying

Istilah “cyberbullying” telah digunakan secara luas dalam bahasa sehari-hari ataupun secara formal. Istilah tersebut muncul pertama kali pada tahun 1999, dimana pada saat itu belum ada konsensus mengenai definisi cyberbullying yang jelas, meskipun pada beberapa versi biasanya mengandung penggunaan teknologi digital untuk menimbulkan bahaya secara berulang atau melakukan penindasan. Pada tahun 2006, Patchin dan Hinduja mendefinisikan cyberbullying sebagai bahaya yang terjadi secara disengaja dan berulang yang ditimbulkan melalui penggunaan computer, telepon genggam, atau alat elektronik lainnya.11 Tokunaga pada tahun 2010 juga mengemukakan bahwa cyberbullying adalah suatu perilaku yang dilakukan melalui media elektronik atau digital oleh seseorang atau suatu kelompok yang secara berulang mengkomunikasikan pesan agresif atau tidak bersahabat yang ditujukan untuk menimbulkan bahaya atau ketidaknyamanan pada orang lain.12 Sementara itu, Kowalski dkk pada tahun 2014 menyatakan bahwa cyberbullying adalah penggunaan teknologi komunikasi elektronik untuk menindas orang lain.

Bentuk Cyberbullying

Beberapa penelitian membagi cyberbullying berdasarkan media yang digunakan, penggunaan spesifik teknologi komunikasi, dan tipe perilaku. Cyberbullying berdasarkan media yang digunakan dibagi menjadi dua, yaitu cyberbullying menggunalan internet dan telepon genggam. Namun, beberapa tahun terakhir, perkembangan smartphone memungkinkan seseorang untuk mengirim dan menerima e-mail serta mengakses internet melalui telepon genggam, sehingga pengelompokan sebelumnya menjadi meragukan.

Penelitian lain menginvestigasi cyberbullying melalui berbagai media yang lebih spesifik. Smith dkk menggunakan tujuh media utama, yaitu panggilan telepon genggam, pesan teks, bullying melalui gambar atau klip video, e-mail, ruang obrolan, pesan instan, dan situs web. Hinduja dan Patchin menggunakan sembilan item skala cyber victimization yang mencakup media yang sama. Di Korea Selatan, cyberbullying melalui game internet banyak ditemukan. Jenis-jenis cyberbullying tersebut akan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman.

Pembagian cyberbullying lainnya adalah dengan melihat jenis tindakan atau kontennya. Willard pada tahun 2006 menjelaskan tujuh kategori: flaming, pelecehan online, cyberstalking, pemfitnahan, penyamaran, outing, dan eksklusi. Rivers dan Noret mendeskripsikan isi dari pesan teks dan e-mail abusive dengan sepuluh kategori : ancaman kekerasan fisik, abusif atau terkait kebencian, nama panggilan (termasuk homofobia), ancaman kematian, mengakhiri hubungan platonic, perilaku seksual, tuntutan atau instruksi, ancaman untuk merusak hubungan saat ini, ancaman kepada keluarga, dan pesan berantai bersifat mengancam. Huang dan Chou pada tahun 2010 menginvestigasi jenis perilaku cyberbullying melalui tiga kelompok peran yang berbeda: korban, pelaku, dan saksi. Perilaku yang paling sering dilaporkan oleh korban dan pelaku adalah ancaman dan pelecehan, diikuti dengan lelucon terhadap korban, dan terakhir penyebaran rumor. Pada saksi, urutan tersebut berbeda, dimana yang paling sering dilaporkan adalah lelucon terhadap korban, lalu diikuti dengan ancaman dan pelecehan, dan terakhir penyebaran rumor.

Cara seseorang berkomunikasi melalui media elektronik berubah secara cepat. Beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan perkembangan smartphone, masyarakat lebih mudah untuk mengakses internet dan mengirim atau menerima pesan teks, serta melakukan panggilan. Media sosial seperti Myspace atau Facebook  pun semakin populer. Twitter merupakan media sosial terbaru yang baru-baru ini menimbulkan kasus, dimana seorang mahasiswa diadili karena penghinaan ras melalui akun twitter-nya. Istilah baru pun bermunculan, seperti “sexting” (penyebaran gambar seksual pada telepon genggam atau internet tanpa persetujuan korban), “trolling” (komen abusive persisten pada situs web), “griefing” (pelecehan terhadap seseorang pada cyber game atau dunia virtual).

Dampak

Cyberbullying dapat menyebabkan efek yang dalam dan berkepanjangan pada korban. Beberapa penelitian menyatakan bahwa korban cyberbullying rentan untuk mengalami masalah mental yang lebih luas, penyalahgunaan zat, dan pemikiran untuk bunuh diri. Bauman pada tahun 2009 menemukan bahwa dari 221 remaja, subjek yang mengalami cyberbullying menunjukkan peningkatan stress emosional dan kecenderungan untuk acting out (melakukan aksi tanpa menahan dorongan untuk melakukan aksi tersebut). Penelitian lain menemukan bahwa remaja yang merupakan korban Penelitian lain menemukan bahwa remaja yang merupakan korban cyberbullying menunjukkan penurunan konsentrasi, pembolosan, dan penurunan pencapaian akademik. Selain itu, penelitian lain juga menunjukkan bahwa seluruh bentuk bullying memiliki bahaya potensial pada remaja. Gradinger menemukan bahwa korban bullying dan  dan cyberbullying menunjukkan penyesuaian yang buruk, agresi, depresi, dan gejala somatik lainnya dibandingkan mereka yang tidak pernah mengalami bullying atau cyberbullying. Maka dari itu, meskipun bullying dan cyberbullying didefinisikan sebagai medium yang berbeda, efek yang ditimbulkan pada korban memiliki kesamaan.

Hinduja dan Patchin pada tahun 2014 mengemukakan respon yang dihasilkan korban cyberbullying. Pertama, korban akan merasa depresi, sedih, marah, dan frustasi. Selain itu, korban juga menjadi malu atau takut untuk pergi ke sekolah. Cyberbullying juga menyebabkan hilangnya rasa percaya diri, masalah pada keluarga, kesulitan akademik, kekerasan di sekolah, dan perilakiu kekerasan lainnya. Pada akhirnya, korban cyberbullying dilaporkan memiliki pikiran untuk bunuh diri dan bahkan beberapa korban di Amerika Serikat dilaporkan sudah melakukan aksi bunuh diri tersebut.6 Hinduja dan Patchin menyatakan bahwa korban cyberbullying akan 1,9 kali lebih mungkin untuk melakukan percobaan bunuh diri, sementara pelaku cyberbullying akan 1,5 kali lebih mungkin untuk melakukan percobaan bunuh diri.

Tatalaksana

Peran Orang Tua

Hal yang dapat dilakukan oleh orang tua ketika anak mereka menjadi korban cyberbullying adalah memastikan bahwa anak mereka merasa aman dan nyaman, serta terus memberikan dukungan. Orang tua harus menunjukkan pada anak mereka melalui kata-kata dan perbuatan bahwa kedua pihak menginginkan hasil yang sama, yaitu cyberbullying harus dihentikan dan hidup tidak menjadi lebih sulit. Hal ini dapat dicapai dengan kerja sama yang baik sehingga langkah-langkah ke depan yang harus ditempuh dapat diambil dan disetujui, sebab terkadang penting untuk melihat perspektif anak mengenai apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki situasi. Penting bagi orang tua untuk tidak meremehkan perspektif anak mereka. Korban cyberbullying harus mengetahui dengan pasti bahwa orang dewasa yang mereka beri tahu akan mengintervensi secara rasional dan tidak akan membuat situasi menjadi lebih buruk.

Hinduja dan Patchin menjabarkan 10 hal yang harus dilakukan orang tua ketika anak mereka mengalami cyberbullying: orang tua harus memastikan bahwa anak mereka betul-betul aman dan merasa aman; mengajak anak mereka berbicara dan mendengarkan keluhan mereka; mengumpulkan bukti-bukti; bekerja sama dengan sekolah; menghubungi provider konten tersebut; menghubungi polisi jika terdapat ancaman fisik; menghubungi Komnas HAM jika bullying tersebut mengandung ras, jenis kelamin, atau disabilitas; mencari konseling jika dibutuhkan; dan menentukan langkah ke depan untuk mencegah hal tersebut terulang kembali.

Peran Sekolah

Hinduja dan Patchin menyatakan bahwa salah satu langkah penting yang dapat diambil oleh suatu distrik untuk melindungi siswa dan melindungi distrik tersebut dari kewajiban hukum adalah memiliki kebijakan yang jelas dan komprehensif mengenai bullying dan pelecehan, teknologi, dan cyberbullying. Di Amerika Serikat, empat puluh negara bagian sudah memmiliki hukum bullying yang mewajibkan sekolah-sekolah untuk membuat kebijakan mengenai bullying dan sebagian besar saat ini termasuk persyaratan untuk mengatasi pelecehan melalui media elektronik. Penting bagi konselor di sekolah untuk memahami kebijakan sekolah mereka sehingga respon yang dapat diberikan untuk perilaku tersebut sesuai dengan kebijakan yang berlaku.

Meskipun kebanyakan dari kejadian cyberbullying dapat diselesaikan secara informal (memanggil orang tua, konseling terhadap pelaku dan korban, memberikan hukuman terhadap perilaku tersebut), terdapat beberapa kasus dimana respon formal dari sekolah dibutuhkan. Hal ini terutama dibutuhkan pada insiden yang melibatkan ancaman serius terhadap siswa lain, jika korban tidak lagi merasa nyaman untuk dating ke sekolah, atau jika cyberbullying berlanjut setelah usaha informal untuk menghentikan kejadian tersebut gagal. Jika hal ini terjadi, penting bagi pendidik untuk mendapatkan cukup bukti dalam mengambil langkah selanjutnya.

Peran Korban

Hal yang paling penting dilakukan oleh korban adalah membangun hubungan yang baik dengan orang dewasa yang dapat mereka percayai (orang tua, guru, atau orang lain) sehingga mereka dapat membicarakan pengalaman mereka yang membuat mereka sedih atau tidak nyaman. Jika memungkinkan, korban seharusnya tidak mempedulikan hinaan atau panggilan-panggilan nama yang tidak terlalu serius dan tidak merespon pelaku karena hal tersebut dapat membuat cyberbullying menjadi berlanjut. Mereka juga seharusnya menggunakan pengaturan akun dan privasi pada setiap alat elektronik, aplikasi, atau jaringan untuk mengontrol siapa yang dapat mengontak dan berinteraksi dengan mereka, dan siapa yang dapat membaca konten online mereka.

Seluruh bukti cyberbullying yang dikumpulkan juga berguna untuk ditunjukkan kepada orang dewasa yang dapat membantu. Jika target cyberbullying dapat menyimpan log atau jurnal berisi tanggal, waktu, dan pelecehan yang terjadi, mereka dapat membantu untuk membuktikan apa yang terjadi dan siapa yang memulainya, dimana hal ini dapat mempermudah proses investigasi. Informasi tersebut juga dapat diteruskan kepada situs atau perusahaan yang menjadi tempat atau perantara cyberbullying tersebut. Korban harus menyiapkan waktu untuk melaporkan setiap pelecehan, ancaman, impersonasi, atau masalah lain yang mereka lihat atau rasakan, dan mengingat bahwa identitas mereka akan dilindungi.

Peran Saksi

Saksi juga memiliki peran penting. Saksi biasanya tidak ingin terlibat karena takut akan kerumitan dan masalah yang dapat terjadi pada mereka, sementara mereka seringkali menyadari bahwa apa yang mereka lihat tidak benar dan harus dihentikan. Namun, dengan tidak melakukan apa-apa, mereka secara pasif ikut mendorong perilaku tersebut. Dengan mengintervensi, saksi dapat membuat perubahan besar dalam memperbaiki situasi korban, yang seringkali merasa tidak berdaya dan membutuhkan seseorang untuk datang menyelamatkannya. Saksi harus mencatat apa yang mereka lihat dan waktu kejadiannya. Mereka juga harus mengintervensi ketika mereka merasa harus melakukan hal tersebut, dan setelah itu memberitahukan orang dewasa yang dapat mereka percayai dan dapat memperbaiki keadaan. Terakhir, saksi tidak boleh mendorong atau secara tidak langsung berperan dalam perilaku tersebut, seperti meneruskan pesan yang menyakitkan, menertawakan lelucon yang tidak pantas, membiarkan hal tersebut agar tidak dikucilkan orang lain, atau secara diam-diam membiarkan hal tersebut untuk berlanjut.

Pencegahan

Peran Pendidik

Pada tingkat sekolah, pendidik harus rajin mensurvei komunitas sekolah agar mereka dapat mengetahui di mana para siswa menghabiskan waktu mereka secara online dan tempat potensial untuk terjadinya bullying. Pendidik juga dapat memberikan kurikulum yang dapat meningkatkan keterampilan sosial dan memberikan pelajaran mengenai bagaimana menyikapi masalah relasional secara online maupun offline. Selain itu, pendidik juga dapat memberikan pendidikan terkait cyber-safety yang memungkinkan penggunaan teknologi secara positif. Pendidik harus menciptakan lingkungan sosial yang mendorong siswa untuk mengambil langkah positif dalam mendukung siswa lainnya yang mengalami cyberbullying atau bullying.

Para siswa harus didorong untuk bertanggung jawab dalam menjaga reputasi online mereka, seperti mencari nama dan foto mereka secara teratur, dan menggunakan metode pencarian online pribadi lainnya seperti alamat e-mail mereka. Pendidik juga harus mendukung siswa untuk memperlakukan orang lain dengan hormat baik itu online atau offline. Selain itu, siswa juga harus diajarkan pentingnya menjaga password mereka, misalnya dengan mengganti password secara teratur dan tidak memberitahukan kepada orang lain. Selain itu, penting untuk mendorong siswa untuk memikirkan keamanan situs, aplikasi, atau sosial media yang mereka buka.

Para pendidik juga harus mengedukasi keluarga siswa untuk menyimpan komputer di tempat sentral di rumah dan memiliki aturan mengenai penggunaan teknologi. Orang tua juga harus diingatkan untuk lebih aktif dalam kehidupan anak mereka dan mengetahui siapa saja teman anak mereka. Pendidik harus mendampingi orang tua dalam mengenali tanda bullying atau cyberbullying, seperti hilangnya minat untuk pergi ke sekolah, tidak ingin menghabiskan waktu bersama teman, merasa cemas dalam penggunaan teknologi, merasa depresi, sulit tidur, dan turunnya pencapaian akademik. Orang tua juga harus diedukasi untuk mengetahui pengaturan privasi dan parental control pada komputer mereka.

 

Peran Sekolah

Sekolah dapat memberikan edukasi terhadap orang tua siswa mengenai cyberbullying. Administrator dapat mengumpulkan informasi mengenai cyberbullying untuk kemudian dikirimkan melalui e-mail atau dibawa pulang oleh siswa. Sekolah juga dapat membuat suatu acara dan mengundang orang tua serta keluarga siswa lainnya untuk datang, lalu memberikan nasihat dari ahlinya dan mengizinkan orang tua untuk bertanya.

Sekolah juga dapat mengedukasi para staf melalui rapat untuk meningkatkan kesadaran mengenai cyberbullying. Rapat tersebut dapat mendiskusikan contoh kasus dan menekankan peran sekolah. Ahli-ahli dapat didatangkan untuk mengedukasi para guru dan staf mengenai tata cara mengatasi cyberbullying. Para guru dapat dilatih untuk mengingatkan siswa secara teratur tentang cara-cara yang baik dalam penggunaan teknologi dan menempatkan peringatan tersebut di seluruh kelas beserta pedomannya. Jika guru melaporkan insiden cyberbullying, administrator sekolah harus suportif dan menginvestigasi setiap kasus dengan hati-hati. Jika siswa tertangkap basah saat kejadian di sekolah, administrator harus dikontak secepatnya. Mereka harus menginformasikan kepada orang tua dari pelaku dan korban, dan menyelesaikan perkara dengan cara bertemu dengan seluruh pihak yang terlibat. Selain itu, sekolah juga perlu untuk membentuk kebijakan anti-cyberbullying. Kebijakan ini harus mencakup bahwa cyberbullying dilarang dan pelaku akan terkena hukuman.

 

Peran Orang Tua

Beale dan Hall pada tahun 2007 menyatakan bahwa orang tua harus mendiskusikan penggunaan komputer yang pantas dengan anak-anak mereka secara teratur. Orang tua harus mengetahui apa yang anak mereka lakukan secara online. Dalam hal ini, orang tua dapat membuat persetujuan dengan anak mereka mengenai situs-situs yang dapat mereka buka, berapa lama waktu yang dapat mereka habiskan, dan apa yang harus dilakukan jika mereka mengalami serangan online. Orang tua juga dapat memblokir akses ke situs web yang mengandung kekerasan atau pornografi.

Kesimpulan

Cyberbullying merupakan kasus yang cukup banyak terjadi di dunia, terutama di Indonesia. Hal ini terkait dengan perkembangan teknologi saat ini yang memudahkan masyarakat, khususnya para remaja, untuk mengakses internet dan mengirimkan atau menerima pesan teks melalui telepon genggam atau komputer di mana saja dan kapan saja. Perkembangan ini memberikan manfaat dengan memudahkan remaja untuk mengakses informasi dan berinteraksi dengan orang lain. Namun, selain manfaat yang diberikan, dampak negatif seperti cyberbullying juga dapat terjadi.

Cyberbullying memiliki makna yang sama dengan bullying, yaitu suatu perilaku yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan untuk menimbulkan bahaya pada korban, dilakukan secara berulang kali, dan terdapat ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban. Namun, dalam konteks cyberbullying, perilaku tersebut dilakukan melalui teknologi komunikasi elektronik. Bentuk-bentuk cyberbullying dibagi berdasarkan media utama yang digunakan (telepon genggam dan internet), cara spesifik penggunakan teknologi komunikasi elektronik (pesan teks, pesan instan, e-mail, dan halaman web), dan jenis perilaku (ancaman, flaming, outing, dan eksklusi).

Dampak dari cyberbullying adalah korban akan merasa sedih, depresi, marah dan frustasi. Selain itu korban juga merasa malu dan takut untuk pergi ke sekolah. Rasa percaya diri korban akan menurun. Pada akhirnya, mereka akan merasa putus asa, memiliki pikiran untuk bunuh diri, dan melakukan percobaan bunuh diri.

Hal yang paling penting untuk menangani dan mencegah cyberbullying adalah kerja sama orang tua, pendidik, sekolah, dan korban. Dukungan dari orang tua diperlukan untuk membuat korban merasa aman dan nyaman. Pendidik juga harus mengedukasi siswa untuk menggunakan media elektronik dengan bijak dan mengingatkan orang tua untuk mengontrol penggunaan internet anak-anak mereka. Sekolah juga harus membuat kebijakan anti-cyberbullying untuk mengendalikan kejadian untuk mengendalikan kejadian cyberbullying. Korban juga harus menceritakan segala pelecehan online yang dialaminya kepada orang dewasa yang bisa ia percayai seperti orang tua dan guru, serta menanggapinya dengan bijak seperti tidak mempedulikan hinaan tersebut dan tidak merespon pelaku. Selain itu, korban juga harus menjaga privasi online mereka seperti rajin mengganti password dan mengecek nama dan foto mereka di situs web atau media sosial.

Cookie membantu kami memberikan layanan kami. Dengan menggunakan layanan kami, Anda menyetujui penggunaan cookie kami.